06/05/16

Berjalan Bersama Cermin

"Miss, aku capek.." dengan suara lemah dan langkah tertatih gadis mungil itu mengeluh.
Kuhirup napas dalam-dalam. Tanpa menjawab dengan kata-kata, kugenggam tangannya dan (sedikit) menariknya. Ia pun terpaksa mengikuti ritme langkahku, yang telah kusesuaikan sedemikian rupa untuk bisa diikuti anak-anak berusia 6-8 tahun itu.
Perjalanan kami berlanjut. Keluhan-keluhan itu tidak kunjung reda.
"Miss, napasku sesak.." berulang kali dia menyatakannya sembari memegang dadanya dengan sebelah tangan yang tak kugenggam.
"Tapi masih bisa napas, kan? Kalau masih bisa, ayo lanjut. Terus napas." Aku hanya menoleh sekilas, memastikan udara masih bisa keluar-masuk dari lubang hidungnya yang agak tersumbat karena sedang pilek.
"Kamu bisa. Ayo, yakin bisa!" Sebelah tanganku yang bebas mengepal ke udara.

Kali itu aku sedang mengikuti kegiatan camping dari sekolah tempatku mengajar. Aku mendapat tugas sebagai pendamping 7 siswi kelas 1 dan 2 SD. Dalam kegiatan dua hari semalam itu, ada dua agenda yang sebenarnya agak membuatku cemas. Trekking siang dan (terutama) malam. Masalahnya, ada seorang siswi dampinganku yang memang agak "kelewat peka" alias capek sedikit tapi sedikit-sedikit bilang capek, sakit sedikit tapi sedikit-sedikit bilang sakit.. hehehe. Contohnya kurang lebih seperti cuplikan cerita di atas. Itu kalau aku sudah bosan menanggapi ya, kalau aku masih berbaik hati, aku akan menjawab setiap keluhannya.. *ciee sok baik wkwkwk

Aku sebal dapat anak dampingan seperti itu? Jujur saja, sama sekali tidak.

Karena aku pun dulu seperti itu :") 

Bahkan di saat aku sudah 18 tahun dan berstatus mahasiswa -,- jauh lebih menyebalkan aku kan pastinya? Wkwkwkw :p

Ya, menjadi pendamping anak kali ini membuatku seperti disodori cermin. Anak-anak ini, terutama yang "kelewat peka" itu tadi, benar-benar seperti merefleksikan diriku beberapa waktu lalu. Saat aku menjadi calon anggota (bahkan ketika sudah jadi anggota pun masih sih hehe) sebuah klub penggiat alam di kampusku (aku pernah sampai nangis-nangis di pos satu saat pendakian ke Ciremai. Bayangkan, pos satuuuuu!!!), juga saat-saat sebelumnya termasuk saat aku masih kecil. Aku masih ingat betul, ketika aku terjatuh saat bermain dan mendapati ada titik merah serupa darah di lututku, aku menangis tidak keruan. Padahal setelah dibersihkan dengan air dan hendak diberikan obat merah, titik itu sudah hilang dan ibuku jadi bingung mau memberikan obat di mana :")

Okelah, imejku rusak sekarang setelah pengakuan dosa ini :") hahaha. Yang jelas, aku kini semakin tahu bagaimana perasaan orang-orang di sekitarku saat itu. Hehehe.

Selain itu, aku juga terpikir hal lain.

Tentang proses.

Saat ini, mungkin aku sudah tidak lemah-lemah banget dalam berkegiatan alam ataupun aktivitas yang mengandalkan fisik lainnya. Bahkan aku terkadang bisa membantu temanku yang kelelahan. Tapi dulu, aku bahkan lebih lemah (secara fisik dan apalagi mental) daripada siswi dampinganku ini. Dan saat yang aku maksud dengan dulu itu adalah ketika aku sudah mahasiswi lho, sedangkan dia masih kelas 2 SD.

Jadi, aku menghargai prosesnya. Siapa yang tahu bagaimana dia saat dewasa? Atau bahkan bagaimana dia saat camping tahun depan?

Selamat berproses ya, sayang.. Miss pun sedang berproses, memperbaiki diri dalam hal yang mungkin agak berbeda dengan apa yang sedang kamu usahakan saat ini.. Masih banyak ruang dalam diri Miss yang perlu dikembangkan.. :)

Ayo berjuang!

07/02/16

Simple

Tai. Taken from here

Mastai. Begitu aku dan teman-teman SMA-ku memanggilnya. Nama aslinya sih Anin, tapi dia suka sekali menggambar tai -_- iya, tai yang melingkar-lingkar itu. Jadilah temanku memanggilnya master tai alias mastai, yang kemudian diikuti oleh teman-temanku yang lain termasuk aku :p

Setelah lama tidak berkontak dengannya, tiba-tiba aku menghubunginya lagi. Minta tumpangan, wkwkwk. Sudah lama aku ingin ke Malang, dan perjalananku ke Jawa Timur saat itu membuatku ingin sekali menjejakkan kaki ke sana. Ya, meskipun tidak mengeksplor kota itu seperti yang dilakukan banyak orang lain (dan aku juga, nanti, jika aku kesana lagi hehe), yang penting aku ingin merasakan bagaimana kota yang baksonya suka aku makan itu hehehe.

Setibanya di terminal Malang dan dijemput ketua kelas sepanjang masa kami, Guntur, aku diantar menuju kos-kosan tempat tinggal Mastai. Di sana aku menghabiskan 2 hari 2 malam bersamanya dan seorang roommate-nya, wanita asal Lamongan yang lucu. Kami berwisata kuliner di sekitaran kosan mereka, yang membuatku ngiler banget karena tempat makanan berderet-deret di sana. Untung aku tidak kuliah di sana, karena kayaknya aku nggak akan bisa seperti Mastai yang bertahan dengan tubuh langsingnya :")

Seperti yang pernah kusebutkan bahwa bukan masalah tempat apa yang aku tuju, tapi bagaimana perjalanan itu sendiri, aku merasa senang meskipun hanya mendapati secuil bagian dari Malang. Sisanya PR lah yaa hehehe. Aku senang bertemu kembali dengan teman SMA-ku yang pernah (dengan isengnya) membuat blog untuk wadah para penulis amatir mempublikasikan karyanya, termasuk aku. Satu hal yang aku suka dari gadis pendiam-tapi-sebenarnya-somplak ini adalah ke"santai"annya. Dia tidak terlihat berambisi untuk mencapai sesuatu (tidak terlihat bukan berarti tidak punya ya, hanya saja dia tidak menampilkannya), tapi hal-hal "iseng"nya itu somehow menyenangkan, setidaknya sebagai salah satu temannya aku merasa begitu. Contohnya blog itu tadi. Awalnya itu katanya hanya blog iseng, lalu ada beberapa teman yang berkontribusi menulis di situ, lalu aku pun demikian, lalu temannya teman (termasuk temanku) ikutan, kemudian merambah sampai para pembaca blog yang suka menulis juga mendaftar menjadi kontributor. Bahkan di antara mereka ada yang sangat aktifnya sampai dijadikan admin juga. Mastai sendiri lebih selow dalam mengelola blog tersebut.

Aku jadi berpikir. Terkadang aku ribet sendiri dengan rencana-rencana, kepayahan dalam menjalankannya, dan kecewa ketika mendapati kenyataan yang tak sesuai harapan. Kapan aku bahagia?

Ah, mastai. Sampai jumpa lagi. Ketika jauh, kita memang hampir tidak pernah bersapa, tapi saat bertemu aku senang kita tetap bisa mengobrol dan tertawa sepuasnya..

Komunitas Kayak Surabaya : Mencintai Tanpa Kata

Saying "I love you"
is not the words I want to hear from you...


Lagu "More Than Words" itu mungkin cocok untuk jadi backsound tulisan aku kali ini. Tulisan tentang bagaimana sekelompok pemuda berpenampilan berantakan (bahkan ada yang berambut gimbal) yang berbicara "kasar" khas Surabaya (aku pakai tanda petik karena kasar itu relatif menurutku), tetapi sangat tahu bagaimana caranya mencintai. Lagi-lagi, itu menurutku lho ya. Mungkin mereka sendiri akan geli dengan kata "cinta" yang kupakai dalam tulisan ini. Hihihi

Perjalanan tanpa tujuanku kali itu bermuara pada perkenalanku dengan Komunitas Kayak Surabaya, sebuah komunitas yang dari namanya saja sudah cukup menggambarkan komunitas itu secara umum ya, hehe. Entah apakah Surabaya terlalu panas sehingga pemuda-pemuda itu suka bermain air di sungai, yang jelas setiap Sabtu pemuda-pemuda ini berkumpul di belakang Monumen Kapal Selam (Monkasel) untuk melakukan aktivitas kecintaan mereka: bermain kayak. Selain bermain kayak, mengikuti dan mengadakan event-event yang berhubungan dengan kayak, serta menyewakan alat-alat kayak, satu hal yang membuatku salut adalah mereka juga merawat tempat mereka berkayak itu. Iya, sungai. Kalau kata pepatah sambil menyelam minum air, kalau mereka sambil berkayak membersihkan sungai :) dengan kayaknya, mereka menyusuri sungai dan mengumpulkan sampah-sampah yang dibuang secara tidak bertanggung jawab oleh orang-orang. Selain itu, mereka juga membersihkan dinding-dinding sungai "buah karya" anak-anak yang mungkin ingin menjadi mural artist tapi sayangnya kurang bimbingan :(

This photo was given by Mas Arlis
Oke, jadi pertanyaan untukku kali ini adalah : manfaat apa yang bisa aku berikan dengan hobiku?

Dibalik Kecantikan Itu

Apa ada mahasiswa berprestasi dari kabupaten yang memiliki beberapa kampung idiot?

Ya, ada. Dialah sahabatku, Silvia. Darinya aku pertama kali mendengar istilah kampung idiot. Tinggal di kabupaten yang memiliki kampung-kampung idiot itu membuat Silvia begitu ingin mengadakan penelitian di sana, tetapi sayangnya keputusan tim mengatakan lain. Namun demikian, perhatiannya pada 'para tetangga'nya itu tidak berkurang. Semoga di lain kesempatan Silvia dapat mewujudkan harapannya untuk berkontribusi di sana ya. Aamiin.

Wanita berusia setahun di atas saya inilah yang mendapat titel Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2014. Masa SMA-nya dihabiskan selama 4 tahun, yakni 3 tahun di Indonesia dan 1 tahun di Amerika karena mengikuti program pertukaran pelajar. Saat kuliah, perempuan berjilbab ini kembali unjuk gigi di tingkat internasional sebagai salah satu presentan pada konferensi di Sri Lanka. Jika melihat sederet prestasinya, rasanya tak percaya dia tinggal tidak jauh dari desa-desa yang disebut kampung idiot itu.

Ya, kampung idiot. Miris tentunya mendengar apalagi mengucapkan istilah tersebut. Dari salah satu sumber yang saya baca, beberapa orang akhirnya menggunakan istilah kampung dengan warga keterbelakangan mental atau kampung berkebutuhan khusus. Dari beberapa desa tersebut, di desa Sidoharjo lah yang paling banyak terdapat orang-orang berkebutuhan khusus itu (sumber : di sini dan di sini).

Desa-desa itu memiliki beberapa kesamaan. Selain sama-sama terletak di lereng pegunungan kapur yang tidak subur, akses menuju desa-desa tersebut juga sulit. Mayoritas warganya juga berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Bahkan, disebutkan pula bahwa para warga di sana, termasuk para ibu hamil, pernah terpaksa mengonsumsi gemblong, yakni sejenis talas berwarna hitam dan gatal yang dimakan tikus, pada saat masa kesulitan bahan makanan. Anak-anak yang lahir kemudian pun banyak yang mengalami ketidaksempurnaan fisik ataupun mental.

Selain ada kampung idiot, aku menemukan pula adanya kampung sinting di sana! Ya, ketika aku sedang berkepo-kepo ria di internet ketika menuliskan tulisan ini, aku menemukan berita lain yang tidak kalah miris itu. Di desa Paringan, terdapat puluhan warga yang mengidap schizophrenia.

Ketika dalam perjalanan meninggalkan Ponorogo, Anggi bercerita padaku tentang sebuah desa di kabupaten tempatnya lahir dan besar itu, yang juga baru diketahuinya ketika mengikuti kegiatan bakti sosial pada saat ia kuliah. Padahal, kampusnya bukan di Ponorogo, melainkan di ibu kota provinsi Jawa Timur sana. Desa itu begitu terpencil, aksesnya hanya satu jalan yang membuat mobil yang dikendarainya meraung-raung kepayahan. Listrik? Oh jangan harap. Anggi sendiri miris betul melihat fenomena di desa itu, ya, desa yang berada di kabupaten yang sama dengan tempat ia tumbuh besar selama ini.

Perasaanku mendadak jadi campur aduk. Sebelumnya, hanya Reog-lah yang kutahu dari sebuah kabupaten bernama Ponorogo. Namun ternyata di balik kekayaan budayanya yang luar biasa itu, ada masyarakat di sana yang seperti itu.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan siapapun. Aku hanya merasa.. ah entah apa perasaan itu namanya. Yang jelas itu membuatku ingin bermain-main di kotaku sendiri dan mengenalinya dengan lebih dalam.

Mungkin ada tetanggaku yang butuh perhatian..

09/10/15

Ayo!

"Dari sini ke Surabaya naik apa, ya?"
"Oh, nanti malam aku mau ke Surabaya kok Mbak, yuk ikut aja!"
"AYO!"


Tanpa berpikir, aku langsung mengiyakan ajakan Anggi, adik sepupu sahabatku. Aku bahkan tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai Surabaya dari Ponorogo. Aku tidak tahu jam berapa kami akan berangkat, jam berapa kami akan tiba, lalu sesampainya kami di sana, dia akan kemana dan aku harus kemana. Semua hal yang harusnya dipertimbangkan itu entah bersembunyi di mana saat aku bersepakat dengannya untuk pergi bersama ke Surabaya.

Dan aku baru memikirkan ulang setelah ibunya berwajah sumringah mengetahui putrinya tidak pergi sendirian malam-malam ke Surabaya.

"Eh, ke Surabaya berapa lama sih?"
"Sekitar 5 jam-an, Mbak."
"Kita nanti berangkat jam berapa?"
"Jam 7-an aja ya."
*dalam hati mikir, kemungkinan besar kami baru akan berangkat jam 8 nih, itu artinya aku akan sampai di Surabaya sekitar jam...


Satu pagi.

Trus aku mau ke mana sampai lebih dari 12 jam berikutnya?

Aku memang berencana menghadiri wisuda temanku di Surabaya yang acaranya akan dimulai jam 1 siang. Itupun baru mulai acaranya. Tidak mungkin juga kan aku menonton acara wisudanya *karena yang dapat undangan kan orang tuanya*, paling-paling hanya bisa menunggu di luar sampai acara selesai. Jadi aku bisa datang menjelang acaranya selesai.

Kalau kamu berpikir aku sebaiknya ikut adik sepupunya sahabatku ini, kamu tidak tepat. Tujuan akhirnya malam itu bukanlah Surabaya, tapi Malang. Ia ke Surabaya hanya untuk transit.

Trus nasibku gimana?

Dengan handphone lowbat dan kesempatan untuk mengobrol dengan sahabatku sore itu, aku sukses melupakan (maksudnya kelupaan) perihal dimana aku akan berada setelah jam 1 malam nanti. Barulah sekitar habis maghrib, aku mulai intensif mengontak teman-temanku yang ada di Surabaya. Salah satu teman SMAku yang kuliah di Surabaya sebelumnya sempat meng-oke-kan aku untuk menginap. Tapi itu rencananya di malam setelah aku menghadiri wisuda temanku itu. Aku buru-buru menanyakannya lagi apakah malam itu bisa. Jawabannya sih bisa, tapi ketika kutanya kosannya tutup jam berapa, dia bilang:


"Jam sepuluh, Mel."

Mamam, aku tidak enak sudah numpang, mengganggu pula dini hari.

Tidak kehabisan akal, aku berpikir untuk menghabiskan malam di tempat makan siap saji yang buka 24 jam. Untuk memastikan keberadaan tempat itu di sekitar terminal Bungurasih tempatku turun nanti, aku kembali membikin rusuh grup SMA dan komunitasku.

Ada yang bilang kayaknya ada. Ada juga yang bilang agak jauh. Kemudian, ada lagi yang bilang, "di dalamnya terminal ada tempat makan jual donat yang buka 24 jam."

Oke. Aku sudah cukup lega. Tinggal menuju tempat itu, pesan minuman hangat, dan menunggu sampai pagi. Toh aku bawa buku catatan kecil, lumayan lah buat corat-coret sambil mengisi waktu.

Tapi kemudian ada salah satu kakak dari komunitas yang tidak tega. Dia mengontak teman-temannya yang ada di Surabaya. Dapatlah aku nomor koordinator chapter Jawa Timur dari komunitas kami. Ku kirimi pesan via wasap.

Sudah mendekati pukul 7. Aku bersiap-siap dulu, deh. Nanti saja aku kembali pikirkan di bus. Setidaknya, aku sudah punya satu rencana.

Benar saja, jam 8 kami baru berangkat dari Ponorogo. Itu pun dengan bus yang menuju Madiun. Bus menuju Surabaya sudah berangkat tidak lama sebelum kami sampai terminal Ponorogo.

Berkali-kali aku ditanya baik oleh Silvia, Nuri, Anggi, maupun mama Anggi, "Kamu nanti di Surabaya gimana?" Dan aku selalu jawab, "Tenang, ada temen kok v(^,^)"

Nekat. Tapi aku tidak mau merepotkan keluarga sahabatku ini lebih banyak lagi kalau aku baru berangkat besok pagi. Tidak ada angkutan umum seperti di Jabodetabek yang kemana-mana aku bisa sendiri.

Di dalam bus, aku masih melanjutkan percakapan dengan teman-teman via wasap. Sesekali mengobrol dengan adiknya sepupuku ini. Karena aku sudah merasa punya opsi A (bermalam di tempat jual donat di dalam terminal), aku sudah agak tidak terlalu panik.

Untuk menghemat baterai handphone, aku mematikan handphone. Tidak tahu diri memang, karena pada saat yang sama ternyata teman-temanku sedang sibuk mencarikan tempat buatku malam itu dan teman yang akan menjemputku. Hiks, maaf ya, sudah bikin rusuh tetiba tidak bisa dihubungi.


Setelah berganti bus di Madiun, yang kali ini busnya lebih enak, aku benar-benar sudah mengabaikan handphoneku. Aku mengobrol banyak dengan Anggi malam itu. Kami tertawa-tawa, ngobrol ngalor-ngidul, dan (baru) bertukar nomor handphone dan path. Mungkin setelah lebih dari separuh perjalanan, aku baru mengaktifkan paket dataku. Dan jeng jeeeeeengggg..

Aku ternyata sudah dapat 'penampungan' dan 'penjemput'. Hiks, terharu. Aku buru-buru merespon kakak koordinator chapter Jawa Timur ini, meminta maaf kalau aku tadi mematikan paket data. Ia kemudian bertanya jam berapa aku akan tiba, dsb dsb. Aku mengatakan akan datang jam 2 *ingat kelenturan jam di Indonesia? :p*

Aku kemudian mengirim pesan pada kakak penjemput dan kakak penampung (ih apa sih bahasaku, wkwk). Kakak penjemput sudah oke, kakak penampung belum membalas. Aku berasumsi kakak ini sudah tahu aku akan datang malam itu, dan mungkin dia sekarang sudah tidur.

Aku melanjutkan perjalanan masih dalam perasaan damai yang bodoh. Sudah punya dua opsi, bung!

Sesampainya di terminal Bungurasih, aku dan adik sepupu sahabatku ini berpisah. Dia langsung mendapat bus menuju Malang, dan aku menghubungi kakak penampung dan penjemput sambil mencari tempat jual donat yang tadi dimaksud oleh salah satu kakak di komunitasku.

Plan A oke (aku menemukan tempat jual donat), plan B setengah oke. 

Hah, setengah?

Ketika kutelpon kakak penampung, dia menjawab setengah sadar. Dalam kesetengahsadaran itu ia terkejut aku akan datang dini hari begitu.

"Besok pagi aja gimana?" tawarnya lugu.

Sama saja aku hanya bisa menjalankan plan A kalau begitu :')

Aku segera memberitahu kakak penjemput bahwa ia tidak harus menjemputku malam itu. Aku bisa sendiri menunggu di tempat jual donat sampai pagi. Tapi untungnya ia tidak membiarkanku. Ia bilang akan tetap datang dan membantuku mencari jalan keluar.

Iya, untung. Ketika aku menunggu kakak penjemput itu, aku baru memandang sekeliling. Ya ampun, di luar tempat jual donat ini, beberapa lelaki berbadan besar wara-wiri. Kalau tidak salah aku tadi salah satu yang sempat ditawari bus, taksi, atau apalah. Tapi tadi aku menolak dengan sopan dan langsung masuk kedai ini. Tapi kalau dilihat-lihat, seram juga ya. Aku terus berdoa dalam hati.

Ketika aku sedang mengisi ulang baterai handphoneku dan menyeruput susu cokelat panas yang harganya 4x harga normal itu, kakak penjemput datang. Fiuuh. Kakak yang baru kali itu aku temui (bahkan baru beberapa jam lalu kukenal via wasap) itu berperawakan agak mungil, hehe. Tapi aku yakin kakak ini baik. Setelah ia duduk dan bertanya tentang kakak penampung, ia kemudian sibuk menghubungi teman-teman perempuannya.

"Kalau kamu laki-laki sih gampang, bisa di rumahku."

Aku pun menghubungi teman-temanku yang ada di Surabaya. Termasuk teman yang kosannya tutup jam 10 itu.

Kami sama-sama tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

"Kalau kamu nggak tidur malam ini, bisa?" Ia akhirnya menawarkan opsi lain: nongkrong sampai pagi.

"Bisa!"

Ia kemudian mengajakku ke Taman Bungkul, salah satu spot di Surabaya yang tidak pernah sepi. Wuzzz benar saja. Sekitar jam setengah 3 pagi itu, sudah (atau masih?) banyak orang di sana. Ada beberapa gerombol orang. Satu gerombol tengah bermain musik, yang lainnya melakukan aktivitas-aktivitas yang lain. Aku diajak kakak penjemput ini berkeliling taman yang tidak sangat luas, tapi juga tidak terlalu kecil itu. Setelah satu kali putaran, kami duduk dan memesan minuman hangat.

Sambil menikmati musik gratis yang dimainkan entah oleh komunitas apa itu, kami mengobrol cukup banyak. Satu-dua orang memandangiku yang menggendong tas besar seperti hendak atau baru naik gunung.

Menjelang pagi, seorang pria paruh baya menimbrung obrolan kami. Ternyata bapak itu sedang mengikuti rangkaian pertandingan Capoeira! Ia bercerita banyak tentang cabang beladiri yang berasal dari Brazil itu. Ternyata sudah dari kelas 3 SD bapak ini menggeluti Capoeira. Orang tuanya adalah atlet beladiri juga, dan ia mengikuti ibunya mengambil Capoeira. Ternyata sudah lama ya beladiri ini ada, dan aku baru tahu beberapa tahun lalu. Itu pun hanya sebatas tahu sedikit saja dari televisi. Aku juga tidak tahu ada event seperti itu. Oke, aku anak yang kuper -.-

Ketika langit sudah cukup terang dan kakak penampung sudah benar-benar bangun, aku diantar kakak penjemput ke kosan kakak penampungku ini. Di kosannya, aku langsung mandi dan jeng jeeng, ketika aku kembali ke kamarnya, sudah tersedia sepiring lontong... *aku lupa bertanya apa namanya*!

"Dihabiskan ya, Mbak." Ia berujar sambil menyodorkan sepiring penuh pepaya yang sudah dipotong-potong.
"Eh, iya, Mbak. Makasih yaa."

Sudah diberi tempat untuk membersihkan diri, diberikan sarapan gratis dengan porsi kuli, aku masih merecoki jam kerjanya pun!

Iya, ternyata hari itu dia masih masuk kerja! Towewewew.

"Kamu mau kemana habis ini? Aku antar, tapi maaf ya nggak bisa nemenin. Aku masuk kerja."
"Eeeh, iya nggak apa-apa, Mbak." Secepat mungkin kurapikan barang-barangku.

Di motornya, aku berpikir kemana lagi aku harus pergi. Temanku yang akan wisuda pasti masih sibuk bersiap-siap. Akhirnya aku kembali merecoki kakak penjemput tadi.

"Ya sudah kalau gitu sama temanku, ya. Dia mau ke Monkasel."

Aku tidak tahu tempat apa itu, tapi aku langsung mengiyakan. Sesaat kemudian temannya kakak penjemputku itu mengontakku. Oke, pagi itu aku akan jalan-jalan ke Monkasel.

"Mbak nggak apa-apa nungguin aku begini? Maaf ya Mbak jadi telat kerjanya." Aku sangat tidak enak pada kakak penampung yang rela terlambat masuk kerja demi menemani aku sampai bertemu kakak yang akan mengajakku ke Monkasel. Kami menunggu di sebuah halte (aku lupa halte apa).

Kakak penampungku ini sudah cantik, royal, baik banget pula.

Setelah kakak yang dimaksud datang, aku say good bye sama kakak penampung. Sedih, baru juga beberapa jam bertemu. Suatu saat nanti aku ingin bertemu dengannya lagi, dalam situasi di mana aku tidak banyak merepotkannya seperti saat itu. Aamiin

Di motor kakak yang mengajakku ke Monkasel itu, aku diminta menanyakan teman-teman di grup wasapnya apakah mereka sudah sampai. Melihat list nama-namanya, rasanya tidak ada nama perempuan -.-

Monumen Kapal Selam (Monkasel) - Taken by Mas Arlis

Singkat cerita, siang itu aku kemudian jebe-jebe (baca: nimbrung) di komunitasnya kakak itu. Mereka adalah penggemar olahraga kayak di Surabaya. Dugaanku benar, semuanya laki-laki. Aku jadi merasa paling cantik >.< (ya iyalah!). Tapi kalau dipikir-pikir, aku kayak anak cewek pengganggu yang merecoki acara bermainnya anak-anak laki-laki. Huufffftt. Ampuni aku ya, Mas-mas!

Well, kalau dihitung dari malam sebelumnya, dalam waktu singkat aku berkenalan (dan merepotkan) berapa orang itu? Padahal rencana awalku adalah aku berangkat dari Ponorogo pagi, sampai Surabaya siang, lalu menghadiri wisuda temanku. Sesimpel itu.

Dan itu semua menjadi rumit karena kegegabahanku yang bilang

"AYO!".

02/10/15

Pernikahan yang Tak Biasa

Ups! Salah kostum. Aku jadi pengen menggetok-getokkan kepala ke bantal #lah

Sebenarnya, sahabatku yang menjadi mempelai wanita pada hajatan yang kuhadiri ini sudah memberitahuku, adat pernikahannya berbeda dengan adat yang umum di daerah kampus kami, termasuk rumahku, yang masih di sekitar Jabodetabek. Tidak ada prasmanan, katanya. Oke, berarti mirip seperti adat di daerah kampung halaman ibuku, kataku.

Sayangnya, sudah tahu begitu, aku masih tidak ngeh juga dengan dress code-nya. Adat pernikahan yang digunakan temanku itu mencerminkan bahwa rumahnya memang bukan berada di pusat kota, karena adat pernikahan orang-orang di kota umumnya sudah seperti adat pernikahan di sekitar rumahku juga. Pun, sahabatku ini sudah pernah memberi tahuku bahwa rumahnya memang di desa.

Tapi sepertinya aku kerasukan hantu norak.

Untuk kondangan di tempat sahabatku ini, aku malah menyiapkan baju yang bling-bling (-.-"). Untuk pakaian, aksesori beserta tas pesta dan sepatunya, hampir sepertiga ruang dalam backpack 40L ku tersita. Akhirnya, gamis berwarna ngejreng itu tidak jadi aku pakai, dan artinya aku menyia-nyiakan ruang dalam backpackku, yang telah membuatku terlihat seperti hendak naik gunung. Huuuuft. Padahal aku nggak mau banget jadi pejalan rempong yang boros tenaga, waktu, dan uang >.< sehingga sebisa mungkin aku harus efisien dalam hal-hal tersebut. Ruang dalam backpackku itu seharusnya bisa membuatku lebih hemat tenaga jika kukosongkan saja, hemat waktu karena tidak perlu ribet menyempilkan barang di sana-sini, dan hemat uang kalau aku bisa menggunakan ruang itu untuk membawa air minum, misalnya. Ya, ruang dalam backpack memang se-penting itu.

Well, kita lewati saja ya pembahasan tentang packing-ku yang buruk itu. Yang penting aku bisa menghadiri pernikahan sahabatku :) yeaaaayyyy!! Tapi aku tidak sempat lihat akad nikahnya karena aku masih on the way :"(

Adat pernikahan yang kumaksud berbeda dengan adat di kota-kota khususnya kulihat pada saat resepsi (ya iyalah, aku kan tidak melihat akadnya -,-").

Aku datang ketika jeda waktu antara akad nikah dan resepsi. Pada saat itu, mempelai pria dan keluarganya tidak ada di lokasi. Mereka kembali ke rumah mereka setelah akad (untungnya masih satu kabupaten ya, jadi gak jauh-jauh amat wkwk) sebelum nanti datang lagi ke rumah si mempelai wanita untuk acara resepsi. Jadi, si mempelai pria dan keluarganya ini didandani di rumahnya sendiri. Begitu pula dengan mempelai wanita. Aku datang ketika sahabatku dan para among tamu dkk sedang didandani. *fyi, make up-nya bagus banget lho. Aku yang buta tentang make up saja amazed melihatnya. Trus tetiba punya pikiran "Ih wanita Jawa cantik-cantik ya" hehehehe (mentang-mentang aku sendiri Jawa trus pengen disamain dengan mereka yang cantik-cantik hihihi). Di saat yang sama, aku pun mendandani diriku dulu setelah perjalanan hampir delapan belas jam dengan bus. Tapi yaah seperti yang kubilang tentang ke-newbie-anku dalam ber-make up tadi, aku yang sudah rempong-rempong bawa pakaian (yang tidak jadi aku pakai itu) justru tidak membawa alat make up. Hahaha. Untung temannya sahabatku berkenan meminjamkan eye liner-nya. Lumayan lah ya wkwk.

Acara resepsi dimulai dengan acara keluarnya pengantin wanita beserta 'dayang-dayang' dan orang tuanya dari rumah menuju pelaminan di halaman depan rumahnya. Beberapa saat kemudian, rombongan pengantin pria datang. Ketika rombongan tersebut sudah tampak di ujung jalan, pihak mempelai wanita menyambutnya di luar gerbang rumah. Kemudian, kedua pihak ini pun bertemu #tsaaah yang disebut jemuk. Setelah pengantin ini berhadapan, ritual-ritual selanjutnya dilakukan. Ada ritual dimana pengantin wanita berjalan mengitari pengantin pria. Tiga putaran kalau tidak salah. Ada pula ritual pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria, lalu makan dan minum disuapi oleh orang tua pengantin wanita, berjalan bersama menuju pelaminan dimana ayah pengantin wanita memegang ujung kain panjang yang dilingkarkan ke sepasang pengantin ini, sungkeman, kacar-kucur, dan sebagainya yang bisa kamu browsing sendiri jika mau kepo lebih lanjut hehe. Ritual-ritual ini sebenarnya sudah tidak asing di mataku, karena beberapa pernikahan yang pernah kuhadiri di kota, termasuk pernikahan kakakku sendiri, menggunakan prosesi adat semacam ini.

Yang bagiku berbeda justru berkaitan dengan tamu-tamunya.

Pada acara pernikahan yang biasanya kuhadiri, tamu bisa datang kapan saja selama range waktu yang tertera di undangan. Untuk yang acaranya di gedung mungkin lebih terbatas waktunya, tetapi tetap saja tamu bisa datang mepet di akhir waktu yang tersedia (dengan risiko sudah kehabisan menu-menu maknyus yang telah diburu tamu-tamu sebelumnya sih). Untuk yang acaranya di rumah, biasanya waktunya lebih panjang lagi. Jadi, mungkin saja sesama tamu tidak bertemu karena datang di waktu yang berbeda.

Sementara itu, pada acara pernikahan sahabatku ini, para tamu hadir di waktu yang bersamaan. Acara dimulai jam 1 siang, ya jam segitu lah semua tamu datang. Para tamu tersebut menyaksikan setiap rangkaian acara yang ada, seperti yang sedikit kusebutkan tadi.

Selain itu, biasanya kalau aku kondangan, hidangan untuk para tamu disajikan secara prasmanan. Tamu datang, salaman dengan si empunya hajat, santap hidangan yang dia inginkan (bahkan sampai antri untuk mendapatkan makanan incaran), (terkadang) salaman lagi disertai foto bersama pengantin, lalu pulang. Berbeda dengan di acara pernikahan sahabatku ini. Di sini, tamu hanya datang, duduk di bangku yang sudah disediakan (pastinya banyak sekali sesuai dengan jumlah tamunya), menyimak acara demi acara, menyantap hidangan yang diberikan oleh panitia (jadi tidak perlu berjalan kemana-mana), kemudian setelah acara selesai baru bersalaman dengan pengantin sebelum melangkah pulang.

Sebenarnya aku tidak terlalu asing dengan adat seperti ini, karena mamaku pernah bercerita pengalamannya sebagai 'pramusaji' di kampungnya di kabupaten Bantul ketika masih gadis dulu. Namun, tetap saja menyaksikannya langsung yang baru pertama kali ini merupakan momen yang kece buatku. Apalagi, bagi temannya sahabatku (sama-sama datang dari jauh sepertiku) yang mengaku baru kali ini dia tahu ada adat semacam itu. Mahasiswi profesi apoteker di kampus yang sama denganku ini memang lahir dan besar di Jakarta, dengan orang tua yang juga orang Betawi.

Sore hari, acara sudah beres. Para tamu sudah pulang. Tinggallah panitia sibuk membereskan semuanya. Senja hari itu, aku dan sahabatku sudah punya kesempatan mengobrol. Sembari mengobrol, berbagai penganan yang maknyus disajikan pada kami, termasuk sate khas Ponorogo. Meski sudah kenyang, tapi mulut dan tanganku tak kuasa menolak xp

Walaupun tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama, tapi aku senang sekali bisa menghadiri pernikahannya.

Baarakallaahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a baynakumaa fii khair
Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, semoga Allah mencurahkan keberkahan kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan.
Aamiin

28/09/15

Solo Trip ke Jawa Timur (Preambule)

Sepatu saja ada pasangannya
"Sendirian?"

Pertanyaan itu tidak hanya terlontar dari satu-dua orang. Sepertinya hampir semua orang yang mengetahui perjalananku kali ini menanyakan hal serupa. Selain konten, nada pertanyaannya pun nyaris sama: heran.


Hey, ini bukan perjalanan soloku yang pertama, tahu. Dua tahun lalu aku pernah melakukannya. Bahkan di luar negeri. Pun, itu pertama kalinya aku ke luar negeri, jadi masih norak-norak gimana gitu hehehe.

Setelah pengalaman pertama aku melakukan backpacking dua tahun lalu itu (well, sebenarnya aku tidak pakai backpack. Aku bahkan menggeret-geret koper. Aku menggunakan term itu karena perjalananku berbudget minim), aku jadi ketagihan. Beberapa kali melakukan perjalanan bersama orang yang berbeda-beda setelahnya. Namun, kali ini aku ingin sendiri lagi.

"Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asyik sendiri..." jawabku mengutip sebuah lagu. Jawaban itu tentunya direspon dengan tawa oleh lawan bicaraku. Sial. Tapi aku juga ikut tertawa.

Sebagian dari mereka yang menanyakan pertanyaan seperti yang kutulis di awal tulisan ini meneruskannya dengan pertanyaan lain yang kurang lebih begini: "kok berani sih?", "emang enak?", "gak takut?", "gak bosen apa?", "dibolehin lo?". Orang-orang jenis ini biasanya adalah mereka yang sudah lama tidak berinteraksi denganku. Atau yang tidak dekat. Atau bahkan baru kenal denganku.

Sementara itu, sebagian lainnya, yang kebanyakan adalah orang-orang yang sudah cukup tahu banyak tentangku (dan sisanya mungkin mereka yang tidak peduli lagi wkwk), hanya tertawa kecil sambil menggeleng-geleng kepala.

Bagi sebagian orang, melakukan perjalanan sendiri mungkin terasa tidak menyenangkan. Sepi, bingung mau ngobrol sama siapa. Alasan lainnya adalah alasan keamanan. Berjalan dengan orang yang bisa melindungi kita tentunya akan membuat kita merasa lebih aman. Sebagian lain mungkin melandaskan pendapatnya dari ajaran agama. Perempuan kalau bepergian harus dengan mahramnya. Ah, aku tidak bisa bicara apa-apa lagi kalau sudah diceramahi begitu. Paling hanya bisa cengir kuda.

Aku bukan orang yang tidak suka bepergian dengan orang lain. Bahkan, dari sekian perjalanan yang pernah kulakukan (yah, meski aku bukan seorang traveler banget yang tiap akhir pekan hinggap di mana-mana sih), mayoritas kulakukan bersama orang lain, baik keluarga maupun teman. Seingatku, perjalanan soloku ini baru yang kedua, atau puluhan bulan setelah perjalanan soloku yang pertama di Thailand-Malaysia.

Aku juga bukan tidak mau bepergian dengan orang lain. Ada teman yang bisa diajak diskusi, saling tukar informasi, saling mengingatkan, saling melindungi, dan saling saling lainnya, itu menyenangkan. Aku juga mau begitu. Masalahnya adalah: siapa yang bisa selalu menjadi teman perjalananku? :p #kodeterbuka. Tidak jarang aku mendapati jawaban "Yaah, lagi ga bisa Mel.." ketika aku mengajak orang lain. Atau sebaliknya. Ketika aku diajak, aku yang sedang tidak bisa hehe. Akhirnya, banyak dari rencana perjalananku yang tidak bisa terealisasi. Sisanya, termasuk yang kali ini, mau tidak mau kuwujudkan sendiri.

Takut, cemas, ragu, pastinya ada. Bagaimana kalau nanti aku begini.. bagaimana kalau nanti ada itu.. Berbagai 'bagaimana kalau' muncul di pikiran. Tapi bagusnya, si 'bagaimana kalau'-'bagaimana kalau' itu justru membantuku buat melakukan antisipasi. Si 'bagaimana kalau nanti aku nyasar' dan 'bagaimana kalau nanti aku dijahati orang' membuatku rajin-rajin cari informasi. Mulai dari cerita perjalanan orang lain, tips-tips perjalanan, sampai tentang rute angkutan umum dan bahkan kalau bisa map nya juga suka aku kepoin. Untungnya aku memang suka menjelajah juga di dunia maya. Jadi, meskipun aku tidak punya rencana pergi dalam waktu dekat, aku tetap menambah wawasanku tentang hal-hal tersebut.

Ketika aku melakukan solo trip pertamaku, aku menghabiskan banyak sekali waktu untuk mencari berbagai informasi. Namun di kali kedua ini, karena keterbatasan waktu #alasan, aku hanya mengandalkan trust pada orang-orang yang akan kutemui di perjalanan nanti. Haha agak nekat sih, tapi entah kenapa aku yakin itu cukup bisa diandalkan karena hobiku meng-kepo selama ini (ya, meskipun aku nggak hendak pergi, aku memang suka sekali baca-baca tentang perjalanan) sepertinya cukup membantuku memiliki pundi-pundi informasi #sombong. Selain itu, komunitas yang kuikuti juga membuatku merasa bisa agak 'manja', dalam artian 'merepotkan' teman-teman di sana. Heuheuheu

Kendati secara umum menyenangkan, aku bukan tidak pernah merasa bosan, garing, bingung, dan sebagainya selama menjalani perjalanan solo. Apalagi kalau keacuhanku sedang kumat. Mau menyapa orang baru, malas. Tapi lama-lama bete juga. Hahaha

Tapi justru dengan begitu, aku jadi 'terpaksa' berinteraksi dengan orang baru. 'Terpaksa' senyum, menyapa, juga beramah tamah. Akhirnya, biasanya sih aku jadi enjoy hehehehe. Bahkan nggak jarang aku jadi amazed sama orang-orang yang baru kukenal itu. Pun sama informasi-informasi yang baru kali itu aku tahu. Contohnya ketika aku bertemu dengan seorang pria berusia mendekati separuh abad yang ke Gunung Rinjani sudah seperti main ke taman belakang rumah. Sendirian. Berkali-kali pun. Hadeuh, aku sekali aja belum pernah. Dan aku nggak pernah kepikiran untuk mendaki gunung sendirian. Siang harinya, aku bermain dengan sekelompok pemuda yang mencintai lingkungan tanpa kata. Mereka langsung bertindak membersihkan 'hasil karya' orang lain yang tidak pada tempatnya. Singkat kata, aku jadi merasa nggak kesepian dalam upaya untuk mencintai alam ini. Bahkan, ah, aku mah apa atuh dibanding mereka..

Perjalananku kali ini memang tidak sampai seminggu. Diawali dengan acara kondangan ke pernikahan salah satu sahabatku. Aku memang sudah sejak lama berkeinginan untuk menghadiri pernikahan sahabat-sahabatku, dimanapun mereka berada. Alasannya, selain karena pernikahan itu penting dan sahabat itu penting sehingga pernikahan sahabat itu penting kuadrat #halah, aku juga jadi bisa sekalian jalan-jalan kalau tempatnya jauh :p hehehe. Sahabatku yang menikah di kampung halamannya di Ponorogo ini menjadi yang pertama.

Namun, berhubung aku pasti tidak bisa menambah keriweuhan sahabatku yang menikah ini dengan acara jalan-jalanku, aku mencari teman-teman lain yang bersedia menjadi host di sesi jalan-jalanku setelah kondangan. Pertama, aku menghubungi teman yang berasal dari Ponorogo. Sayangnya dia sekarang berdomisili di Sidoarjo karena pekerjaannya. Lebih parahnya lagi, dia tidak ada jadwal kosong di pekan itu :'( Oke, alternatif lain. Aku menghubungi teman-teman yang tinggal di kota-kota lain di Jawa Timur. Setelah tanya sana-sini, aku mendapatkan kontak teman SMA-ku yang masih tinggal di Malang karena belum wisuda. Setelah basa-basi dikit karena sudah empat tahun tidak saling kontak, alhamdulillah dia meng-oke-kan untuk memberi tumpangan padaku selama dua malam. Yes. Tentang di sana mau kemana dan ngapain aja, aku padanya lah ya. Hihihi. Aku nggak ada target apapun di Malang. Mau diajak jalan-jalan sampai Batu ayok aja, mau 'sekadar' nongkrong-nongkrong cantik di warung kopi dekat kosannya pun gak apa-apa. Toh aku belum pernah ke Malang, dan aku bukan tipe orang yang mengejar tempat-tempat wisata 'mainstream'. Bagiku, mengunjungi tempat yang baru saja sudah merupakan sebuah perjalanan, karena kan tandanya aku sudah berpindah tempat alias 'berjalan', kan? Wkwkwk.

Travelling is not about the destination. It's about the journey

Tidak penting kemana, dan tidak terlalu penting bersama siapa (aku oke aja jalan sendiri atau bersama orang lain), yang penting bagiku adalah perjalanan itu sendiri. Lebih penting lagi, pemaknaan atas perjalanan itu. Bagaimana perjalanan itu memberikanku pemahaman baru, baik mengenai diriku sendiri maupun apa yang ada di luar diriku, itulah yang aku cari.