09/10/15

Ayo!

"Dari sini ke Surabaya naik apa, ya?"
"Oh, nanti malam aku mau ke Surabaya kok Mbak, yuk ikut aja!"
"AYO!"


Tanpa berpikir, aku langsung mengiyakan ajakan Anggi, adik sepupu sahabatku. Aku bahkan tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai Surabaya dari Ponorogo. Aku tidak tahu jam berapa kami akan berangkat, jam berapa kami akan tiba, lalu sesampainya kami di sana, dia akan kemana dan aku harus kemana. Semua hal yang harusnya dipertimbangkan itu entah bersembunyi di mana saat aku bersepakat dengannya untuk pergi bersama ke Surabaya.

Dan aku baru memikirkan ulang setelah ibunya berwajah sumringah mengetahui putrinya tidak pergi sendirian malam-malam ke Surabaya.

"Eh, ke Surabaya berapa lama sih?"
"Sekitar 5 jam-an, Mbak."
"Kita nanti berangkat jam berapa?"
"Jam 7-an aja ya."
*dalam hati mikir, kemungkinan besar kami baru akan berangkat jam 8 nih, itu artinya aku akan sampai di Surabaya sekitar jam...


Satu pagi.

Trus aku mau ke mana sampai lebih dari 12 jam berikutnya?

Aku memang berencana menghadiri wisuda temanku di Surabaya yang acaranya akan dimulai jam 1 siang. Itupun baru mulai acaranya. Tidak mungkin juga kan aku menonton acara wisudanya *karena yang dapat undangan kan orang tuanya*, paling-paling hanya bisa menunggu di luar sampai acara selesai. Jadi aku bisa datang menjelang acaranya selesai.

Kalau kamu berpikir aku sebaiknya ikut adik sepupunya sahabatku ini, kamu tidak tepat. Tujuan akhirnya malam itu bukanlah Surabaya, tapi Malang. Ia ke Surabaya hanya untuk transit.

Trus nasibku gimana?

Dengan handphone lowbat dan kesempatan untuk mengobrol dengan sahabatku sore itu, aku sukses melupakan (maksudnya kelupaan) perihal dimana aku akan berada setelah jam 1 malam nanti. Barulah sekitar habis maghrib, aku mulai intensif mengontak teman-temanku yang ada di Surabaya. Salah satu teman SMAku yang kuliah di Surabaya sebelumnya sempat meng-oke-kan aku untuk menginap. Tapi itu rencananya di malam setelah aku menghadiri wisuda temanku itu. Aku buru-buru menanyakannya lagi apakah malam itu bisa. Jawabannya sih bisa, tapi ketika kutanya kosannya tutup jam berapa, dia bilang:


"Jam sepuluh, Mel."

Mamam, aku tidak enak sudah numpang, mengganggu pula dini hari.

Tidak kehabisan akal, aku berpikir untuk menghabiskan malam di tempat makan siap saji yang buka 24 jam. Untuk memastikan keberadaan tempat itu di sekitar terminal Bungurasih tempatku turun nanti, aku kembali membikin rusuh grup SMA dan komunitasku.

Ada yang bilang kayaknya ada. Ada juga yang bilang agak jauh. Kemudian, ada lagi yang bilang, "di dalamnya terminal ada tempat makan jual donat yang buka 24 jam."

Oke. Aku sudah cukup lega. Tinggal menuju tempat itu, pesan minuman hangat, dan menunggu sampai pagi. Toh aku bawa buku catatan kecil, lumayan lah buat corat-coret sambil mengisi waktu.

Tapi kemudian ada salah satu kakak dari komunitas yang tidak tega. Dia mengontak teman-temannya yang ada di Surabaya. Dapatlah aku nomor koordinator chapter Jawa Timur dari komunitas kami. Ku kirimi pesan via wasap.

Sudah mendekati pukul 7. Aku bersiap-siap dulu, deh. Nanti saja aku kembali pikirkan di bus. Setidaknya, aku sudah punya satu rencana.

Benar saja, jam 8 kami baru berangkat dari Ponorogo. Itu pun dengan bus yang menuju Madiun. Bus menuju Surabaya sudah berangkat tidak lama sebelum kami sampai terminal Ponorogo.

Berkali-kali aku ditanya baik oleh Silvia, Nuri, Anggi, maupun mama Anggi, "Kamu nanti di Surabaya gimana?" Dan aku selalu jawab, "Tenang, ada temen kok v(^,^)"

Nekat. Tapi aku tidak mau merepotkan keluarga sahabatku ini lebih banyak lagi kalau aku baru berangkat besok pagi. Tidak ada angkutan umum seperti di Jabodetabek yang kemana-mana aku bisa sendiri.

Di dalam bus, aku masih melanjutkan percakapan dengan teman-teman via wasap. Sesekali mengobrol dengan adiknya sepupuku ini. Karena aku sudah merasa punya opsi A (bermalam di tempat jual donat di dalam terminal), aku sudah agak tidak terlalu panik.

Untuk menghemat baterai handphone, aku mematikan handphone. Tidak tahu diri memang, karena pada saat yang sama ternyata teman-temanku sedang sibuk mencarikan tempat buatku malam itu dan teman yang akan menjemputku. Hiks, maaf ya, sudah bikin rusuh tetiba tidak bisa dihubungi.


Setelah berganti bus di Madiun, yang kali ini busnya lebih enak, aku benar-benar sudah mengabaikan handphoneku. Aku mengobrol banyak dengan Anggi malam itu. Kami tertawa-tawa, ngobrol ngalor-ngidul, dan (baru) bertukar nomor handphone dan path. Mungkin setelah lebih dari separuh perjalanan, aku baru mengaktifkan paket dataku. Dan jeng jeeeeeengggg..

Aku ternyata sudah dapat 'penampungan' dan 'penjemput'. Hiks, terharu. Aku buru-buru merespon kakak koordinator chapter Jawa Timur ini, meminta maaf kalau aku tadi mematikan paket data. Ia kemudian bertanya jam berapa aku akan tiba, dsb dsb. Aku mengatakan akan datang jam 2 *ingat kelenturan jam di Indonesia? :p*

Aku kemudian mengirim pesan pada kakak penjemput dan kakak penampung (ih apa sih bahasaku, wkwk). Kakak penjemput sudah oke, kakak penampung belum membalas. Aku berasumsi kakak ini sudah tahu aku akan datang malam itu, dan mungkin dia sekarang sudah tidur.

Aku melanjutkan perjalanan masih dalam perasaan damai yang bodoh. Sudah punya dua opsi, bung!

Sesampainya di terminal Bungurasih, aku dan adik sepupu sahabatku ini berpisah. Dia langsung mendapat bus menuju Malang, dan aku menghubungi kakak penampung dan penjemput sambil mencari tempat jual donat yang tadi dimaksud oleh salah satu kakak di komunitasku.

Plan A oke (aku menemukan tempat jual donat), plan B setengah oke. 

Hah, setengah?

Ketika kutelpon kakak penampung, dia menjawab setengah sadar. Dalam kesetengahsadaran itu ia terkejut aku akan datang dini hari begitu.

"Besok pagi aja gimana?" tawarnya lugu.

Sama saja aku hanya bisa menjalankan plan A kalau begitu :')

Aku segera memberitahu kakak penjemput bahwa ia tidak harus menjemputku malam itu. Aku bisa sendiri menunggu di tempat jual donat sampai pagi. Tapi untungnya ia tidak membiarkanku. Ia bilang akan tetap datang dan membantuku mencari jalan keluar.

Iya, untung. Ketika aku menunggu kakak penjemput itu, aku baru memandang sekeliling. Ya ampun, di luar tempat jual donat ini, beberapa lelaki berbadan besar wara-wiri. Kalau tidak salah aku tadi salah satu yang sempat ditawari bus, taksi, atau apalah. Tapi tadi aku menolak dengan sopan dan langsung masuk kedai ini. Tapi kalau dilihat-lihat, seram juga ya. Aku terus berdoa dalam hati.

Ketika aku sedang mengisi ulang baterai handphoneku dan menyeruput susu cokelat panas yang harganya 4x harga normal itu, kakak penjemput datang. Fiuuh. Kakak yang baru kali itu aku temui (bahkan baru beberapa jam lalu kukenal via wasap) itu berperawakan agak mungil, hehe. Tapi aku yakin kakak ini baik. Setelah ia duduk dan bertanya tentang kakak penampung, ia kemudian sibuk menghubungi teman-teman perempuannya.

"Kalau kamu laki-laki sih gampang, bisa di rumahku."

Aku pun menghubungi teman-temanku yang ada di Surabaya. Termasuk teman yang kosannya tutup jam 10 itu.

Kami sama-sama tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

"Kalau kamu nggak tidur malam ini, bisa?" Ia akhirnya menawarkan opsi lain: nongkrong sampai pagi.

"Bisa!"

Ia kemudian mengajakku ke Taman Bungkul, salah satu spot di Surabaya yang tidak pernah sepi. Wuzzz benar saja. Sekitar jam setengah 3 pagi itu, sudah (atau masih?) banyak orang di sana. Ada beberapa gerombol orang. Satu gerombol tengah bermain musik, yang lainnya melakukan aktivitas-aktivitas yang lain. Aku diajak kakak penjemput ini berkeliling taman yang tidak sangat luas, tapi juga tidak terlalu kecil itu. Setelah satu kali putaran, kami duduk dan memesan minuman hangat.

Sambil menikmati musik gratis yang dimainkan entah oleh komunitas apa itu, kami mengobrol cukup banyak. Satu-dua orang memandangiku yang menggendong tas besar seperti hendak atau baru naik gunung.

Menjelang pagi, seorang pria paruh baya menimbrung obrolan kami. Ternyata bapak itu sedang mengikuti rangkaian pertandingan Capoeira! Ia bercerita banyak tentang cabang beladiri yang berasal dari Brazil itu. Ternyata sudah dari kelas 3 SD bapak ini menggeluti Capoeira. Orang tuanya adalah atlet beladiri juga, dan ia mengikuti ibunya mengambil Capoeira. Ternyata sudah lama ya beladiri ini ada, dan aku baru tahu beberapa tahun lalu. Itu pun hanya sebatas tahu sedikit saja dari televisi. Aku juga tidak tahu ada event seperti itu. Oke, aku anak yang kuper -.-

Ketika langit sudah cukup terang dan kakak penampung sudah benar-benar bangun, aku diantar kakak penjemput ke kosan kakak penampungku ini. Di kosannya, aku langsung mandi dan jeng jeeng, ketika aku kembali ke kamarnya, sudah tersedia sepiring lontong... *aku lupa bertanya apa namanya*!

"Dihabiskan ya, Mbak." Ia berujar sambil menyodorkan sepiring penuh pepaya yang sudah dipotong-potong.
"Eh, iya, Mbak. Makasih yaa."

Sudah diberi tempat untuk membersihkan diri, diberikan sarapan gratis dengan porsi kuli, aku masih merecoki jam kerjanya pun!

Iya, ternyata hari itu dia masih masuk kerja! Towewewew.

"Kamu mau kemana habis ini? Aku antar, tapi maaf ya nggak bisa nemenin. Aku masuk kerja."
"Eeeh, iya nggak apa-apa, Mbak." Secepat mungkin kurapikan barang-barangku.

Di motornya, aku berpikir kemana lagi aku harus pergi. Temanku yang akan wisuda pasti masih sibuk bersiap-siap. Akhirnya aku kembali merecoki kakak penjemput tadi.

"Ya sudah kalau gitu sama temanku, ya. Dia mau ke Monkasel."

Aku tidak tahu tempat apa itu, tapi aku langsung mengiyakan. Sesaat kemudian temannya kakak penjemputku itu mengontakku. Oke, pagi itu aku akan jalan-jalan ke Monkasel.

"Mbak nggak apa-apa nungguin aku begini? Maaf ya Mbak jadi telat kerjanya." Aku sangat tidak enak pada kakak penampung yang rela terlambat masuk kerja demi menemani aku sampai bertemu kakak yang akan mengajakku ke Monkasel. Kami menunggu di sebuah halte (aku lupa halte apa).

Kakak penampungku ini sudah cantik, royal, baik banget pula.

Setelah kakak yang dimaksud datang, aku say good bye sama kakak penampung. Sedih, baru juga beberapa jam bertemu. Suatu saat nanti aku ingin bertemu dengannya lagi, dalam situasi di mana aku tidak banyak merepotkannya seperti saat itu. Aamiin

Di motor kakak yang mengajakku ke Monkasel itu, aku diminta menanyakan teman-teman di grup wasapnya apakah mereka sudah sampai. Melihat list nama-namanya, rasanya tidak ada nama perempuan -.-

Monumen Kapal Selam (Monkasel) - Taken by Mas Arlis

Singkat cerita, siang itu aku kemudian jebe-jebe (baca: nimbrung) di komunitasnya kakak itu. Mereka adalah penggemar olahraga kayak di Surabaya. Dugaanku benar, semuanya laki-laki. Aku jadi merasa paling cantik >.< (ya iyalah!). Tapi kalau dipikir-pikir, aku kayak anak cewek pengganggu yang merecoki acara bermainnya anak-anak laki-laki. Huufffftt. Ampuni aku ya, Mas-mas!

Well, kalau dihitung dari malam sebelumnya, dalam waktu singkat aku berkenalan (dan merepotkan) berapa orang itu? Padahal rencana awalku adalah aku berangkat dari Ponorogo pagi, sampai Surabaya siang, lalu menghadiri wisuda temanku. Sesimpel itu.

Dan itu semua menjadi rumit karena kegegabahanku yang bilang

"AYO!".

02/10/15

Pernikahan yang Tak Biasa

Ups! Salah kostum. Aku jadi pengen menggetok-getokkan kepala ke bantal #lah

Sebenarnya, sahabatku yang menjadi mempelai wanita pada hajatan yang kuhadiri ini sudah memberitahuku, adat pernikahannya berbeda dengan adat yang umum di daerah kampus kami, termasuk rumahku, yang masih di sekitar Jabodetabek. Tidak ada prasmanan, katanya. Oke, berarti mirip seperti adat di daerah kampung halaman ibuku, kataku.

Sayangnya, sudah tahu begitu, aku masih tidak ngeh juga dengan dress code-nya. Adat pernikahan yang digunakan temanku itu mencerminkan bahwa rumahnya memang bukan berada di pusat kota, karena adat pernikahan orang-orang di kota umumnya sudah seperti adat pernikahan di sekitar rumahku juga. Pun, sahabatku ini sudah pernah memberi tahuku bahwa rumahnya memang di desa.

Tapi sepertinya aku kerasukan hantu norak.

Untuk kondangan di tempat sahabatku ini, aku malah menyiapkan baju yang bling-bling (-.-"). Untuk pakaian, aksesori beserta tas pesta dan sepatunya, hampir sepertiga ruang dalam backpack 40L ku tersita. Akhirnya, gamis berwarna ngejreng itu tidak jadi aku pakai, dan artinya aku menyia-nyiakan ruang dalam backpackku, yang telah membuatku terlihat seperti hendak naik gunung. Huuuuft. Padahal aku nggak mau banget jadi pejalan rempong yang boros tenaga, waktu, dan uang >.< sehingga sebisa mungkin aku harus efisien dalam hal-hal tersebut. Ruang dalam backpackku itu seharusnya bisa membuatku lebih hemat tenaga jika kukosongkan saja, hemat waktu karena tidak perlu ribet menyempilkan barang di sana-sini, dan hemat uang kalau aku bisa menggunakan ruang itu untuk membawa air minum, misalnya. Ya, ruang dalam backpack memang se-penting itu.

Well, kita lewati saja ya pembahasan tentang packing-ku yang buruk itu. Yang penting aku bisa menghadiri pernikahan sahabatku :) yeaaaayyyy!! Tapi aku tidak sempat lihat akad nikahnya karena aku masih on the way :"(

Adat pernikahan yang kumaksud berbeda dengan adat di kota-kota khususnya kulihat pada saat resepsi (ya iyalah, aku kan tidak melihat akadnya -,-").

Aku datang ketika jeda waktu antara akad nikah dan resepsi. Pada saat itu, mempelai pria dan keluarganya tidak ada di lokasi. Mereka kembali ke rumah mereka setelah akad (untungnya masih satu kabupaten ya, jadi gak jauh-jauh amat wkwk) sebelum nanti datang lagi ke rumah si mempelai wanita untuk acara resepsi. Jadi, si mempelai pria dan keluarganya ini didandani di rumahnya sendiri. Begitu pula dengan mempelai wanita. Aku datang ketika sahabatku dan para among tamu dkk sedang didandani. *fyi, make up-nya bagus banget lho. Aku yang buta tentang make up saja amazed melihatnya. Trus tetiba punya pikiran "Ih wanita Jawa cantik-cantik ya" hehehehe (mentang-mentang aku sendiri Jawa trus pengen disamain dengan mereka yang cantik-cantik hihihi). Di saat yang sama, aku pun mendandani diriku dulu setelah perjalanan hampir delapan belas jam dengan bus. Tapi yaah seperti yang kubilang tentang ke-newbie-anku dalam ber-make up tadi, aku yang sudah rempong-rempong bawa pakaian (yang tidak jadi aku pakai itu) justru tidak membawa alat make up. Hahaha. Untung temannya sahabatku berkenan meminjamkan eye liner-nya. Lumayan lah ya wkwk.

Acara resepsi dimulai dengan acara keluarnya pengantin wanita beserta 'dayang-dayang' dan orang tuanya dari rumah menuju pelaminan di halaman depan rumahnya. Beberapa saat kemudian, rombongan pengantin pria datang. Ketika rombongan tersebut sudah tampak di ujung jalan, pihak mempelai wanita menyambutnya di luar gerbang rumah. Kemudian, kedua pihak ini pun bertemu #tsaaah yang disebut jemuk. Setelah pengantin ini berhadapan, ritual-ritual selanjutnya dilakukan. Ada ritual dimana pengantin wanita berjalan mengitari pengantin pria. Tiga putaran kalau tidak salah. Ada pula ritual pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria, lalu makan dan minum disuapi oleh orang tua pengantin wanita, berjalan bersama menuju pelaminan dimana ayah pengantin wanita memegang ujung kain panjang yang dilingkarkan ke sepasang pengantin ini, sungkeman, kacar-kucur, dan sebagainya yang bisa kamu browsing sendiri jika mau kepo lebih lanjut hehe. Ritual-ritual ini sebenarnya sudah tidak asing di mataku, karena beberapa pernikahan yang pernah kuhadiri di kota, termasuk pernikahan kakakku sendiri, menggunakan prosesi adat semacam ini.

Yang bagiku berbeda justru berkaitan dengan tamu-tamunya.

Pada acara pernikahan yang biasanya kuhadiri, tamu bisa datang kapan saja selama range waktu yang tertera di undangan. Untuk yang acaranya di gedung mungkin lebih terbatas waktunya, tetapi tetap saja tamu bisa datang mepet di akhir waktu yang tersedia (dengan risiko sudah kehabisan menu-menu maknyus yang telah diburu tamu-tamu sebelumnya sih). Untuk yang acaranya di rumah, biasanya waktunya lebih panjang lagi. Jadi, mungkin saja sesama tamu tidak bertemu karena datang di waktu yang berbeda.

Sementara itu, pada acara pernikahan sahabatku ini, para tamu hadir di waktu yang bersamaan. Acara dimulai jam 1 siang, ya jam segitu lah semua tamu datang. Para tamu tersebut menyaksikan setiap rangkaian acara yang ada, seperti yang sedikit kusebutkan tadi.

Selain itu, biasanya kalau aku kondangan, hidangan untuk para tamu disajikan secara prasmanan. Tamu datang, salaman dengan si empunya hajat, santap hidangan yang dia inginkan (bahkan sampai antri untuk mendapatkan makanan incaran), (terkadang) salaman lagi disertai foto bersama pengantin, lalu pulang. Berbeda dengan di acara pernikahan sahabatku ini. Di sini, tamu hanya datang, duduk di bangku yang sudah disediakan (pastinya banyak sekali sesuai dengan jumlah tamunya), menyimak acara demi acara, menyantap hidangan yang diberikan oleh panitia (jadi tidak perlu berjalan kemana-mana), kemudian setelah acara selesai baru bersalaman dengan pengantin sebelum melangkah pulang.

Sebenarnya aku tidak terlalu asing dengan adat seperti ini, karena mamaku pernah bercerita pengalamannya sebagai 'pramusaji' di kampungnya di kabupaten Bantul ketika masih gadis dulu. Namun, tetap saja menyaksikannya langsung yang baru pertama kali ini merupakan momen yang kece buatku. Apalagi, bagi temannya sahabatku (sama-sama datang dari jauh sepertiku) yang mengaku baru kali ini dia tahu ada adat semacam itu. Mahasiswi profesi apoteker di kampus yang sama denganku ini memang lahir dan besar di Jakarta, dengan orang tua yang juga orang Betawi.

Sore hari, acara sudah beres. Para tamu sudah pulang. Tinggallah panitia sibuk membereskan semuanya. Senja hari itu, aku dan sahabatku sudah punya kesempatan mengobrol. Sembari mengobrol, berbagai penganan yang maknyus disajikan pada kami, termasuk sate khas Ponorogo. Meski sudah kenyang, tapi mulut dan tanganku tak kuasa menolak xp

Walaupun tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama, tapi aku senang sekali bisa menghadiri pernikahannya.

Baarakallaahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a baynakumaa fii khair
Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, semoga Allah mencurahkan keberkahan kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan.
Aamiin