06/05/16

Berjalan Bersama Cermin

"Miss, aku capek.." dengan suara lemah dan langkah tertatih gadis mungil itu mengeluh.
Kuhirup napas dalam-dalam. Tanpa menjawab dengan kata-kata, kugenggam tangannya dan (sedikit) menariknya. Ia pun terpaksa mengikuti ritme langkahku, yang telah kusesuaikan sedemikian rupa untuk bisa diikuti anak-anak berusia 6-8 tahun itu.
Perjalanan kami berlanjut. Keluhan-keluhan itu tidak kunjung reda.
"Miss, napasku sesak.." berulang kali dia menyatakannya sembari memegang dadanya dengan sebelah tangan yang tak kugenggam.
"Tapi masih bisa napas, kan? Kalau masih bisa, ayo lanjut. Terus napas." Aku hanya menoleh sekilas, memastikan udara masih bisa keluar-masuk dari lubang hidungnya yang agak tersumbat karena sedang pilek.
"Kamu bisa. Ayo, yakin bisa!" Sebelah tanganku yang bebas mengepal ke udara.

Kali itu aku sedang mengikuti kegiatan camping dari sekolah tempatku mengajar. Aku mendapat tugas sebagai pendamping 7 siswi kelas 1 dan 2 SD. Dalam kegiatan dua hari semalam itu, ada dua agenda yang sebenarnya agak membuatku cemas. Trekking siang dan (terutama) malam. Masalahnya, ada seorang siswi dampinganku yang memang agak "kelewat peka" alias capek sedikit tapi sedikit-sedikit bilang capek, sakit sedikit tapi sedikit-sedikit bilang sakit.. hehehe. Contohnya kurang lebih seperti cuplikan cerita di atas. Itu kalau aku sudah bosan menanggapi ya, kalau aku masih berbaik hati, aku akan menjawab setiap keluhannya.. *ciee sok baik wkwkwk

Aku sebal dapat anak dampingan seperti itu? Jujur saja, sama sekali tidak.

Karena aku pun dulu seperti itu :") 

Bahkan di saat aku sudah 18 tahun dan berstatus mahasiswa -,- jauh lebih menyebalkan aku kan pastinya? Wkwkwkw :p

Ya, menjadi pendamping anak kali ini membuatku seperti disodori cermin. Anak-anak ini, terutama yang "kelewat peka" itu tadi, benar-benar seperti merefleksikan diriku beberapa waktu lalu. Saat aku menjadi calon anggota (bahkan ketika sudah jadi anggota pun masih sih hehe) sebuah klub penggiat alam di kampusku (aku pernah sampai nangis-nangis di pos satu saat pendakian ke Ciremai. Bayangkan, pos satuuuuu!!!), juga saat-saat sebelumnya termasuk saat aku masih kecil. Aku masih ingat betul, ketika aku terjatuh saat bermain dan mendapati ada titik merah serupa darah di lututku, aku menangis tidak keruan. Padahal setelah dibersihkan dengan air dan hendak diberikan obat merah, titik itu sudah hilang dan ibuku jadi bingung mau memberikan obat di mana :")

Okelah, imejku rusak sekarang setelah pengakuan dosa ini :") hahaha. Yang jelas, aku kini semakin tahu bagaimana perasaan orang-orang di sekitarku saat itu. Hehehe.

Selain itu, aku juga terpikir hal lain.

Tentang proses.

Saat ini, mungkin aku sudah tidak lemah-lemah banget dalam berkegiatan alam ataupun aktivitas yang mengandalkan fisik lainnya. Bahkan aku terkadang bisa membantu temanku yang kelelahan. Tapi dulu, aku bahkan lebih lemah (secara fisik dan apalagi mental) daripada siswi dampinganku ini. Dan saat yang aku maksud dengan dulu itu adalah ketika aku sudah mahasiswi lho, sedangkan dia masih kelas 2 SD.

Jadi, aku menghargai prosesnya. Siapa yang tahu bagaimana dia saat dewasa? Atau bahkan bagaimana dia saat camping tahun depan?

Selamat berproses ya, sayang.. Miss pun sedang berproses, memperbaiki diri dalam hal yang mungkin agak berbeda dengan apa yang sedang kamu usahakan saat ini.. Masih banyak ruang dalam diri Miss yang perlu dikembangkan.. :)

Ayo berjuang!

07/02/16

Simple

Tai. Taken from here

Mastai. Begitu aku dan teman-teman SMA-ku memanggilnya. Nama aslinya sih Anin, tapi dia suka sekali menggambar tai -_- iya, tai yang melingkar-lingkar itu. Jadilah temanku memanggilnya master tai alias mastai, yang kemudian diikuti oleh teman-temanku yang lain termasuk aku :p

Setelah lama tidak berkontak dengannya, tiba-tiba aku menghubunginya lagi. Minta tumpangan, wkwkwk. Sudah lama aku ingin ke Malang, dan perjalananku ke Jawa Timur saat itu membuatku ingin sekali menjejakkan kaki ke sana. Ya, meskipun tidak mengeksplor kota itu seperti yang dilakukan banyak orang lain (dan aku juga, nanti, jika aku kesana lagi hehe), yang penting aku ingin merasakan bagaimana kota yang baksonya suka aku makan itu hehehe.

Setibanya di terminal Malang dan dijemput ketua kelas sepanjang masa kami, Guntur, aku diantar menuju kos-kosan tempat tinggal Mastai. Di sana aku menghabiskan 2 hari 2 malam bersamanya dan seorang roommate-nya, wanita asal Lamongan yang lucu. Kami berwisata kuliner di sekitaran kosan mereka, yang membuatku ngiler banget karena tempat makanan berderet-deret di sana. Untung aku tidak kuliah di sana, karena kayaknya aku nggak akan bisa seperti Mastai yang bertahan dengan tubuh langsingnya :")

Seperti yang pernah kusebutkan bahwa bukan masalah tempat apa yang aku tuju, tapi bagaimana perjalanan itu sendiri, aku merasa senang meskipun hanya mendapati secuil bagian dari Malang. Sisanya PR lah yaa hehehe. Aku senang bertemu kembali dengan teman SMA-ku yang pernah (dengan isengnya) membuat blog untuk wadah para penulis amatir mempublikasikan karyanya, termasuk aku. Satu hal yang aku suka dari gadis pendiam-tapi-sebenarnya-somplak ini adalah ke"santai"annya. Dia tidak terlihat berambisi untuk mencapai sesuatu (tidak terlihat bukan berarti tidak punya ya, hanya saja dia tidak menampilkannya), tapi hal-hal "iseng"nya itu somehow menyenangkan, setidaknya sebagai salah satu temannya aku merasa begitu. Contohnya blog itu tadi. Awalnya itu katanya hanya blog iseng, lalu ada beberapa teman yang berkontribusi menulis di situ, lalu aku pun demikian, lalu temannya teman (termasuk temanku) ikutan, kemudian merambah sampai para pembaca blog yang suka menulis juga mendaftar menjadi kontributor. Bahkan di antara mereka ada yang sangat aktifnya sampai dijadikan admin juga. Mastai sendiri lebih selow dalam mengelola blog tersebut.

Aku jadi berpikir. Terkadang aku ribet sendiri dengan rencana-rencana, kepayahan dalam menjalankannya, dan kecewa ketika mendapati kenyataan yang tak sesuai harapan. Kapan aku bahagia?

Ah, mastai. Sampai jumpa lagi. Ketika jauh, kita memang hampir tidak pernah bersapa, tapi saat bertemu aku senang kita tetap bisa mengobrol dan tertawa sepuasnya..

Komunitas Kayak Surabaya : Mencintai Tanpa Kata

Saying "I love you"
is not the words I want to hear from you...


Lagu "More Than Words" itu mungkin cocok untuk jadi backsound tulisan aku kali ini. Tulisan tentang bagaimana sekelompok pemuda berpenampilan berantakan (bahkan ada yang berambut gimbal) yang berbicara "kasar" khas Surabaya (aku pakai tanda petik karena kasar itu relatif menurutku), tetapi sangat tahu bagaimana caranya mencintai. Lagi-lagi, itu menurutku lho ya. Mungkin mereka sendiri akan geli dengan kata "cinta" yang kupakai dalam tulisan ini. Hihihi

Perjalanan tanpa tujuanku kali itu bermuara pada perkenalanku dengan Komunitas Kayak Surabaya, sebuah komunitas yang dari namanya saja sudah cukup menggambarkan komunitas itu secara umum ya, hehe. Entah apakah Surabaya terlalu panas sehingga pemuda-pemuda itu suka bermain air di sungai, yang jelas setiap Sabtu pemuda-pemuda ini berkumpul di belakang Monumen Kapal Selam (Monkasel) untuk melakukan aktivitas kecintaan mereka: bermain kayak. Selain bermain kayak, mengikuti dan mengadakan event-event yang berhubungan dengan kayak, serta menyewakan alat-alat kayak, satu hal yang membuatku salut adalah mereka juga merawat tempat mereka berkayak itu. Iya, sungai. Kalau kata pepatah sambil menyelam minum air, kalau mereka sambil berkayak membersihkan sungai :) dengan kayaknya, mereka menyusuri sungai dan mengumpulkan sampah-sampah yang dibuang secara tidak bertanggung jawab oleh orang-orang. Selain itu, mereka juga membersihkan dinding-dinding sungai "buah karya" anak-anak yang mungkin ingin menjadi mural artist tapi sayangnya kurang bimbingan :(

This photo was given by Mas Arlis
Oke, jadi pertanyaan untukku kali ini adalah : manfaat apa yang bisa aku berikan dengan hobiku?

Dibalik Kecantikan Itu

Apa ada mahasiswa berprestasi dari kabupaten yang memiliki beberapa kampung idiot?

Ya, ada. Dialah sahabatku, Silvia. Darinya aku pertama kali mendengar istilah kampung idiot. Tinggal di kabupaten yang memiliki kampung-kampung idiot itu membuat Silvia begitu ingin mengadakan penelitian di sana, tetapi sayangnya keputusan tim mengatakan lain. Namun demikian, perhatiannya pada 'para tetangga'nya itu tidak berkurang. Semoga di lain kesempatan Silvia dapat mewujudkan harapannya untuk berkontribusi di sana ya. Aamiin.

Wanita berusia setahun di atas saya inilah yang mendapat titel Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2014. Masa SMA-nya dihabiskan selama 4 tahun, yakni 3 tahun di Indonesia dan 1 tahun di Amerika karena mengikuti program pertukaran pelajar. Saat kuliah, perempuan berjilbab ini kembali unjuk gigi di tingkat internasional sebagai salah satu presentan pada konferensi di Sri Lanka. Jika melihat sederet prestasinya, rasanya tak percaya dia tinggal tidak jauh dari desa-desa yang disebut kampung idiot itu.

Ya, kampung idiot. Miris tentunya mendengar apalagi mengucapkan istilah tersebut. Dari salah satu sumber yang saya baca, beberapa orang akhirnya menggunakan istilah kampung dengan warga keterbelakangan mental atau kampung berkebutuhan khusus. Dari beberapa desa tersebut, di desa Sidoharjo lah yang paling banyak terdapat orang-orang berkebutuhan khusus itu (sumber : di sini dan di sini).

Desa-desa itu memiliki beberapa kesamaan. Selain sama-sama terletak di lereng pegunungan kapur yang tidak subur, akses menuju desa-desa tersebut juga sulit. Mayoritas warganya juga berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Bahkan, disebutkan pula bahwa para warga di sana, termasuk para ibu hamil, pernah terpaksa mengonsumsi gemblong, yakni sejenis talas berwarna hitam dan gatal yang dimakan tikus, pada saat masa kesulitan bahan makanan. Anak-anak yang lahir kemudian pun banyak yang mengalami ketidaksempurnaan fisik ataupun mental.

Selain ada kampung idiot, aku menemukan pula adanya kampung sinting di sana! Ya, ketika aku sedang berkepo-kepo ria di internet ketika menuliskan tulisan ini, aku menemukan berita lain yang tidak kalah miris itu. Di desa Paringan, terdapat puluhan warga yang mengidap schizophrenia.

Ketika dalam perjalanan meninggalkan Ponorogo, Anggi bercerita padaku tentang sebuah desa di kabupaten tempatnya lahir dan besar itu, yang juga baru diketahuinya ketika mengikuti kegiatan bakti sosial pada saat ia kuliah. Padahal, kampusnya bukan di Ponorogo, melainkan di ibu kota provinsi Jawa Timur sana. Desa itu begitu terpencil, aksesnya hanya satu jalan yang membuat mobil yang dikendarainya meraung-raung kepayahan. Listrik? Oh jangan harap. Anggi sendiri miris betul melihat fenomena di desa itu, ya, desa yang berada di kabupaten yang sama dengan tempat ia tumbuh besar selama ini.

Perasaanku mendadak jadi campur aduk. Sebelumnya, hanya Reog-lah yang kutahu dari sebuah kabupaten bernama Ponorogo. Namun ternyata di balik kekayaan budayanya yang luar biasa itu, ada masyarakat di sana yang seperti itu.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan siapapun. Aku hanya merasa.. ah entah apa perasaan itu namanya. Yang jelas itu membuatku ingin bermain-main di kotaku sendiri dan mengenalinya dengan lebih dalam.

Mungkin ada tetanggaku yang butuh perhatian..