07/02/16

Dibalik Kecantikan Itu

Apa ada mahasiswa berprestasi dari kabupaten yang memiliki beberapa kampung idiot?

Ya, ada. Dialah sahabatku, Silvia. Darinya aku pertama kali mendengar istilah kampung idiot. Tinggal di kabupaten yang memiliki kampung-kampung idiot itu membuat Silvia begitu ingin mengadakan penelitian di sana, tetapi sayangnya keputusan tim mengatakan lain. Namun demikian, perhatiannya pada 'para tetangga'nya itu tidak berkurang. Semoga di lain kesempatan Silvia dapat mewujudkan harapannya untuk berkontribusi di sana ya. Aamiin.

Wanita berusia setahun di atas saya inilah yang mendapat titel Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 2014. Masa SMA-nya dihabiskan selama 4 tahun, yakni 3 tahun di Indonesia dan 1 tahun di Amerika karena mengikuti program pertukaran pelajar. Saat kuliah, perempuan berjilbab ini kembali unjuk gigi di tingkat internasional sebagai salah satu presentan pada konferensi di Sri Lanka. Jika melihat sederet prestasinya, rasanya tak percaya dia tinggal tidak jauh dari desa-desa yang disebut kampung idiot itu.

Ya, kampung idiot. Miris tentunya mendengar apalagi mengucapkan istilah tersebut. Dari salah satu sumber yang saya baca, beberapa orang akhirnya menggunakan istilah kampung dengan warga keterbelakangan mental atau kampung berkebutuhan khusus. Dari beberapa desa tersebut, di desa Sidoharjo lah yang paling banyak terdapat orang-orang berkebutuhan khusus itu (sumber : di sini dan di sini).

Desa-desa itu memiliki beberapa kesamaan. Selain sama-sama terletak di lereng pegunungan kapur yang tidak subur, akses menuju desa-desa tersebut juga sulit. Mayoritas warganya juga berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Bahkan, disebutkan pula bahwa para warga di sana, termasuk para ibu hamil, pernah terpaksa mengonsumsi gemblong, yakni sejenis talas berwarna hitam dan gatal yang dimakan tikus, pada saat masa kesulitan bahan makanan. Anak-anak yang lahir kemudian pun banyak yang mengalami ketidaksempurnaan fisik ataupun mental.

Selain ada kampung idiot, aku menemukan pula adanya kampung sinting di sana! Ya, ketika aku sedang berkepo-kepo ria di internet ketika menuliskan tulisan ini, aku menemukan berita lain yang tidak kalah miris itu. Di desa Paringan, terdapat puluhan warga yang mengidap schizophrenia.

Ketika dalam perjalanan meninggalkan Ponorogo, Anggi bercerita padaku tentang sebuah desa di kabupaten tempatnya lahir dan besar itu, yang juga baru diketahuinya ketika mengikuti kegiatan bakti sosial pada saat ia kuliah. Padahal, kampusnya bukan di Ponorogo, melainkan di ibu kota provinsi Jawa Timur sana. Desa itu begitu terpencil, aksesnya hanya satu jalan yang membuat mobil yang dikendarainya meraung-raung kepayahan. Listrik? Oh jangan harap. Anggi sendiri miris betul melihat fenomena di desa itu, ya, desa yang berada di kabupaten yang sama dengan tempat ia tumbuh besar selama ini.

Perasaanku mendadak jadi campur aduk. Sebelumnya, hanya Reog-lah yang kutahu dari sebuah kabupaten bernama Ponorogo. Namun ternyata di balik kekayaan budayanya yang luar biasa itu, ada masyarakat di sana yang seperti itu.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan siapapun. Aku hanya merasa.. ah entah apa perasaan itu namanya. Yang jelas itu membuatku ingin bermain-main di kotaku sendiri dan mengenalinya dengan lebih dalam.

Mungkin ada tetanggaku yang butuh perhatian..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar